Bentuk-Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Kolonial

Bentuk-Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Kolonial

Bentuk-Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Kolonial

Menyikapi kedatangan serta dominasi bangsa-bangsa Barat di Indonesia, bangsa Indonesia melakukan reaksi dan perlawanan dalam bentuk yang berbeda-beda. Reaksi dilakukan dengan cara menunjukkan rasa tidak suka, menolak, atau tidak mau berhubungan dengan mereka, baik dalam bidang perdagangan, kebudayaan, ataupun bidang-bidang lainnya. 

Perlawanan yang dilakukan umumnya melalui peperangan dan gerakan sosial. Peperangan dilakukan secara terorganisir, terutama oleh angkatan bersenjata milik kerajaan di suatu daerah atau pasukan yang dimiliki oleh kelompok bersenjata. Adapun melalui gerakan sosial, perlawanan dilakukan dengan cara protes, perusakan milik penjajah atau penguasa yang bekerja sama dengan penjajah, serta gerakan sosial berupa pemberontakan. 

Perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap kedatangan dan dominasi bangsa Barat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut.

1) Gerakan bangsa Barat yang cenderung menguasai dan menjajah sumber daya alam serta sumber daya manusia yang ada di Indonesia.

2) Hasrat untuk hidup tenang sesuai dengan adat istiadat setempat dari rakyat Indonesia, seperti halnya sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat.

3) Hasrat untuk menegakkan kedaulatan dan kemandirian serta tidak ingin dicampuri oleh bangsa asing.

4) Kolonialisme dan imperialisme sangat membelenggu masyarakat Indonesia.

Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak menghendaki penjajahan. Hal tersebut telah merugikan pemerintah kolonial di Indonesia. Namun, perlawanan tersebut belum mampu mengusir Belanda dari wilayah Indonesia sampai negara tersebut mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II dan menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rakyat Indonesia gagal mengusir penjajah, di antaranya:

1) kurangnya persatuan di antara rakyat dan kerajaan-kerajaan di Indonesia;

2) mentalitas sebagian orang Indonesia yang terpedaya oleh jabatan dan kekayaan yang ditawarkan oleh penjajah;

3) kualitas SDM Indonesia cenderung kalah dengan SDM penjajah;

4) kuatnya rasa cinta kedaerahan rakyat Indonesia sehingga menjadi peluang bagi penjajah untuk mengadu domba;

5) terdapatnya persaingan di antara kerajaan-kerajaan di Indonesia untuk menjadi kerajaan yang paling maju;

6) sarana dan prasarana militer serta alat komunikasi antar daerah di Indonesia yang sangat minim.


1. Perlawanan Terhadap Portugis

Perlawanan Bangsa Indonesia mengusir bangsa Barat dilakukan sejak kedatangan bangsa Portugis di Indonesia yang mengalahkan Kerajaan Malaka tahun 1511. Perlawanan dilakukan oleh rakyat Aceh, Johor, dan rakyat dari kerajaan-kerajaan lain terhadap kedudukan bangsa Portugis di Pelabuhan Malaka. 

Perlawanan rakyat Maluku terhadap bangsa Portugis dipimpin oleh Sultan Hairun dan Sultan Baabullah (1575). Rakyat Maluku tidak suka dengan kedatangan para pedagang Portugis yang ingin menguasai sumber rempah-rempah dari Maluku. Melihat tanda-tanda bahwa bangsa Portugis ingin memonopoli perdagangan, perlawanan dilakukan sejak 1512. Oleh karena peralatan perang bangsa Portugis lebih lengkap serta tidak adanya kerja sama di antara kerajaan-kerajaan di Maluku, perlawanan mengalami kegagalan. Kerajaankerajaan, seperti Ternate dan Tidore justru bersaing di antara mereka sehingga tidak ada kata sepakat tentang cara mengusir bangsa Portugis dari wilayah mereka. 

Perlawanan yang tidak terorganisir pun terjadi di Demak, Jawa Tengah. Oleh karena tidak adanya dukungan dan kerajaan-kerajaan di kawasan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, serangan ini mengalami kegagalan. Serangan pasukan Dipati Unus terhadap kota Pelabuhan Malaka dilakukan dua kali (1512 dan 1513), tetapi tidak berhasil mengusir bangsa Portugis dari pelabuhan terbesar di Asia itu. Sebaliknya, untuk mempertahankan Malaka, bangsa Portugis berhasil menjalin kerja sama dengan penguasa Kerajaan Pajajaran. Kerajaan yang sedang bersaing dengan Kerajaan Cirebon dan Banten tersebut memanfaatkan bangsa Portugis yang sedang terancam. Keadaan ini menyebabkan gagalnya perlawanan Dipati Unus terhadap kedudukan Portugis di Malaka.


2. Perlawanan Terhadap VOC

Dengan kegagalan-kegagalan tersebut, bangsa Portugis tetap berkuasa di wilayah Nusantara sebelum bangsa ini akhimya kalah bersaing dengan para pedagang Belanda yang telah mendirikan VOC tahun 1602. Perlawanan terhadap bangsa penjajah juga dilakukan terhadap bangsa Belanda. Setelah Belanda mendirikan VOC dan menjadikan Jayakarta (kemudian diganti nama menjadi Batavia) sebagai pusat operasional VOC, timbul reaksi dari kerajaan-kerajaan yang merasa dirugikan akibat didirikannya VOC itu. Salah satu kerajaan yang merasa terancam, yaitu Mataram di bawah Sultan Agung. 

Bagi Sultan Agung, VOC yang berambisi menguasai Jawa dianggap sebagai saingan bagi Kerajaan Mataram. Oleh karena itu, Sultan Agung berusaha melakukan penyerangan terhadap pusat VOC itu. Akan tetapi, lemahnya peralatan militer, kurangnya dukungan logistik, serta tidak adanya dukungan dari kerajaan-kerajaan lain, maka serangan ke Batavia (Jayakarta) mengalami kegagalan. Upaya penyerangan ini dilakukannya sebanyak dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629. Dengan gagalnya serangan tersebut, VOC tetap memiliki kedudukan kuat dalam melakukan perdagangan di kawasan Nusantara. 

Sebaliknya, dengan kuatnya kedudukan tersebut serta terjadinya persaingan di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara, VOC dengan leluasa dapat memperluas wilayah kekuasaannya. Misalnya, ketika terjadi konflik internal pada Kesultanan Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji. Sultan Ageng yang sangat anti terhadap VOC dan tidak suka dengan kedudukan VOC di Jayakarta segera menarik kembali tahta untuk anaknya. Tentu saja tindakan tersebut tidak disukai oleh Sultan Haji sehingga dia minta bantuan ke VOC di Batavia untuk membantu mengembalikan tahtanya. Berkat kerja sama dengan VOC, Sultan Haji akhirnya memperoleh tahta kembali. Sebagai imbalannya, diserahkan sebagian wilayah Banten kepada VOC. Persaingan dalam tubuh kerajaan tersebut sangat tidak menguntungkan bagi upaya untuk mengusir menjajah dari Indonesia. Sebaliknya, dengan adanya konflik dalam tubuh kerajaan, penjajah dengan leluasa dapat memperluas wilayah kekuasaannya. Walaupun begitu, Sultan Ageng Tirtayasa harus dihargai dalam sejarah Indonesia sebagai sultan yang berani menentang VOC.

Di Pulau Sulawesi, perlawanan rakyat untuk mengusir VOC dilakukan di Kerajaan Makassar. Kerajaan yang memusatkan kegiatan ekonominya pada sektor perdagangan sangat terganggu dengan kehadiran organisasi dagang Belanda, VOC. Banyak pedagang Makassar yang mengalami kemunduran karena kehadiran VOC. Oleh karena itu, rakyat Makassar berusaha mengusir VOC dari daerah mereka. Perlawanan rakyat Makassar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Makassar bernama Sultan Hasanuddin.

Walaupun melakukan perlawanan dengan gigih, Hasanuddin tidak berhasil mengusir VOC dari wilayah Makassar. Penyebabnya, kelihaian VOC memanfaatkan konflik dan persaingan antara Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Makassar dan Raja Bone bernama Aru Palaka. Raja Aru Palaka selalu didekati oleh VOC untuk menghadapi pasukan Sultan Bab IV Kebangkitan Nasional 69 Hasanuddin. Melalui pertempuran bertahun-tahun, baik di darat maupun di laut, akhimya pasukan Kerajaan Makassar dapat dikalahkan pasukan VOC. Pasukan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman dapat memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667.

Perlawanan lain terhadap pemerintah kolonial terjadi di Maluku. Perlawanan ini berlangsung lama, dipimpin Sultan Nuku (1780-1805) serta Pattimura (1817). Sultan Nuku merupakan raja dari Kesultanan Tidore. Penyebabnya, Nuku tidak suka dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan-kerajaan di Maluku serta memaksa kerajaankerajaan untuk bekerja sama dengan Belanda. Sultan Nuku memiliki sikap tegas untuk menolak kehadiran pemerintah kolonial di Maluku.


3. Perlawanan Terhadap Pemerintah Kolonial Belanda

Dalam menghadapi Belanda, Nuku menggunakan cara diplomasi, yaitu dengan mendekati Inggris dan mengambil simpati rakyat dari kerajaan-kerajaan yang rajanya telah bergabung dengan Belanda, seperti Ternate. Dengan dukungan tersebut, Nuku dapat memanfaatkan kekuatan militernya untuk menghadapi Belanda. Kerja samanya dengan Inggris hanya merupakan taktik semata. Sultan juga menyadari bahwa kehadiran Inggris di Maluku atau Irian merupakan ancaman bagi pemerintahan pribumi di Maluku. Oleh karena itu, Nuku juga melakukan serangan terhadap Ternate yang mendukung Belanda. Dengan serangan-serangan tersebut, Nuku berhasil mengambil simpati kerajaan-kerajaan Maluku yang merasa telah memiliki kemerdekaan sejak lama. 

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial tidak hanya dilakukan oleh para sultan dan rakyatnya, tetapi juga oleh para pemuda. Para pemuda Maluku tidak suka dengan kehadiran pemerintah kolonial melakukan pemberontakan antara Juli sampai Desember 1817. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Pattimura yang juga dikenal dengan nama Thomas Matulesi. Mereka memberontak karena pemerintah Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib yang pernah dihapuskan pada masa pemerintahan Inggris. 

Pada 3 Mei 1817, mereka berhasil menghancurkan Benteng Saparua dan membunuh semua penghuninya. Dengan serangan tersebut, rakyat Saparua memberikan dukungan kepada Pattimura dan mengangkatnya sebagai seorang kapiten (kapten). Serangan terus dilakukan, terutama ke kantor residen. Namun, kekuatan Belanda lebih kuat. Akhirnya, perlawanan Pattimura dapat dipatahkan pada 16 November 1817 dan ia kemudian dihukum mati.

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda juga dilandasi oleh semangat mempertahankan ajaran Islam, menghapus nilai-nilai setempat, serta nilai-nilai dari Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Perang Paderi yang berlangsung dari 1821-1837 di Sumatra Barat dilatarbelakangi oleh semangat membumikan ajaran Islam sambil menentang adat yang kolot serta nilai-nilai dari Barat. Disebut Perang Paderi karena para pemimpinnya berasal dari kalangan paderi atau tokoh agama Islam yang berkeinginan memurnikan ajaran Islam dari nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.

Perlawanan gigih terhadap penjajahan Belanda juga dilakukan oleh rakyat Aceh dalam Perang Aceh. Perang ini berlangsung pada 1873-1912. Perang Aceh terjadi karena keinginan pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara dilawan oleh rakyat Aceh. Rakyat Aceh tidak menginginkan daerah mereka diduduki oleh penjajah. Mereka memiliki kebanggaan atas kerajaan mereka yang telah berdiri sejak berabad-abad lalu. Terutama, pada zaman kejayaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang tetap berdiri pada abad ke-18 dan 19 sampai abad ke-20. 

Penyebab terjadinya Perang Aceh, antara lain karena pemerintah kolonial ingin menguasai Aceh sebagai kerajaan yang kuat dan memiliki kemampuan diplomatik tinggi. Pemerintah kolonial melihat bahwa Traktat London tahun 1824 dan Traktat Sumatra tahun 1871 yang ditandatangani antara Belanda dan Inggris telah memberi kedudukan yang kuat pada Aceh. Oleh karena itu, dapat menjadi ancaman bagi kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Kekhawatiran tersebut terbukti setelah Aceh mampu menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara. Hal itu mulai mencemaskan Belanda. Belanda merasa takut disaingi dan mulai menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di Nusantara. 

Penolakan rakyat Aceh terhadap tuntutan Belanda mendorong Belanda untuk mengirimkan pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873. Namun, usaha untuk menguasai Aceh mengalami kegagalan. Bahkan Mayor Jenderal Kohler, pemimpin pasukan Belanda tewas di depan Mesjid Raya Aceh. Demikian juga serangan pada Desember 1873 dapat dipatahkan oleh rakyat Aceh. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal van Swieten hanya berhasil merebut istana Kerajaan Aceh dan tidak dapat menguasai seluruh Aceh. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung, walaupun istana kesultanan di Kutaraja direbut oleh Belanda. 

Melihat gigihnya perlawanan rakyat Aceh, Belanda mengubah strategi perang dengan pendekatan sosial budaya. Caranya dengan mengirimkan Snouck Hurgronje, seorang ahli kajian Islam untuk menyelidiki masyarakat Aceh dan memberi masukan kepada pemerintah kolonial tentang strategi menguasai rakyat Aceh. Hurgronje menyarankan agar pemerintah kolonial memahami karakter masyarakat Aceh sambil melakukan serangan kepada para pemimpin Aceh.

Berdasarkan saran tersebut pemerintah kolonial menugaskan van der Heyden untuk memimpin pasukan dalam melakukan serangan ke Aceh Besar, salah satu kota pusat perjuangan rakyat Aceh. Melalui serangan tersebut, pada 1891, salah seorang pemimpin Aceh, Teuku Cik Ditiro gugur. Selanjutnya pada 1893, Teuku Umar ditawan dan kemudian ia berhasil meloloskan diri pada Maret 1896. Setelah bergabung kembali dengan sisa-sisa pasukannya, ia gugur di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Pemimpin lainnya, seperti Sultan Daudsyah dan Panglima Polim terus melakukan perlawanan sampai akhimya mereka dipaksa menyerah oleh Belanda.

Ternyata, gugurnya para pemimpin perjuangan Aceh tidak menyurutkan rakyat Aceh dalam melakukan serangan. Pemimpin Aceh lainnya, seperti Tjut Nyak Dien, istri Teuku Umar terus berjuang dan melakukan perang gerilya. Bersama para pengikutnya, ia Bab IV Kebangkitan Nasional 71 melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai akhirnya terpaksa menyerah pada 1905. Demikian juga pejuang wanita lainnya, seperti Tjut Nyak Meutia terus melakukan perlawanan gerilya sampai ia gugur pada 1910. 

Perang Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912 melalui serangan gerilya yang tidak terorganisir. Namun, Perang Aceh telah menunjukkan kepada Belanda bahwa rakyat Aceh tidak suka dengan penjajahan yang memaksakan nilai-nilai yang bertentangan dengan adat istiadat Aceh.

Di Bali, perlawanan rakyat untuk mengusir Belanda dari daerahnya dikenal dengan Perang Puputan. Perang itu ditandai dengan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh rakyat yang cinta daerahnya, baik pengorbanan nyawa maupun materi. Perang Puputan dilakukan olah rakyat Bali demi mempertahankan daerah mereka dari pendudukan pemerintah kolonial Belanda. Rakyat Bali tidak ingin Kerajaan Klungkung yang telah berdiri sejak abad ke -9 dan telah mengadakan perjanjian dengan Belanda tahun 1841 di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putra diduduki oleh Belanda. Sikap pantang menyerah rakyat Bali dijadikan alasan oleh pemerintah Belanda untuk menyerang Bali. 

Pada 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum tersebut memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya. Dengan kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng pada 1848. Namun, rakyat Buleleng dapat menangkis serangan tersebut. Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga. 

Dengan serangan besar-besaran, rakyat Bali membalasnya dengan perang habishabisan guna mempertahankan harga diri sebagai orang Bali. Pertempuran untuk mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan Puputan Jagaraga. Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908).

Selain perlawanan yang diuraikan tersebut, perlawanan terhadap pemerintah kolonial berlangsung di berbagai daerah dengan latar belakang dan penyebab yang berbeda-beda, seperti di Banjarmasin, Kalimantan Selatan menunjukkan perang berkecamuk di tengahtengah persaingan anggota keluarga kerajaan untuk menduduki tahta kerajaan. Banyak anggota keluarga kerajaan yang ingin naik tahta bekerja sama dengan Belanda. Keadaan inilah yang sangat ditentang oleh Pangeran Antasari, salah seorang pangeran dari Banjarmasin. Perang Banjarmasin pada 1859 dipimpin oleh Antasari yang menentang kehadiran Belanda dalam keluarga kerajaan di Banjarmasin. la putra dari Sultan Muhammad yang sangat anti-Belanda. Pangeran Antasari melakukan pertempuran sengit sampai ia gugur pada 1862.

Post a Comment for "Bentuk-Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Kolonial"