Tugas Metode Penelitian (Resume Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran)
Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran Ilmiah
I.
PENGETAHUAN DAN ILMU
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui
langsung dari pengalaman, berdasarkan pancaindra, dan diolah oleh akal budi
secara spontan. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan
intuitif. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara
pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek.
Pengetahuan dapat dibedakan menjadi pengetahuan non-ilmiah dan pengetahuan
pra-ilmiah. Pengetahuan non-ilmiah adalah hasil serapan indra terhadap
pengalaman hidup sehari-hari yang tidak perlu dan tidak mungkin diuji
kebenarannya. Pengetahuan non-ilmiah tidak dapat dikembangkan menjadi
pengetahuan ilmiah. Misalnya pengetahuan orang tertentu tentang jin atau
makhluk halus di tempat tertentu, keampuhan pusaka, dan lain-lain. Pengetahuan
prailmiah adalah hasil serapan indra dan pemikiran rasional yang terbuka
terhadap pengujian lebih lanjut menggunakan metode-metode ilmiah. Misalnya
pengetahuan orang tentang manfaat rebusan daun jambu biji untuk mengurangi
gejala diare.
Ilmu (sains) berasal dari Bahasa Latin scientia yang
berarti knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin.
Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Ilmu
pengetahuan ialah pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara
metodis, sistematis, konsisten dan koheren. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka
pengetahuan tadi harus dipilah (menjadi suatu bidang tertentu dari kenyataan)
dan disusun secara metodis, sistematis serta konsisten. Tujuannya agar pengalaman
tadi bisa diungkapkan kembali secara lebih jelas, rinci dan setepat-tepatnya.
Metodis, berarti dalam proses menemukan dan mengolah
pengetahuan menggunakan metode tertentu, tidak serampangan. Sistematis, berarti
dalam usaha menemukan kebenaran dan menjabarkan pengetahuan yang diperoleh,
menggunakan langkah-langkah tertentu yang teratur dan terarah sehingga menjadi
suatu keseluruhan yang terpadu. Koheren, berarti setiap bagian dari jabaran
ilmu pengetahuan itu merupakan rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian
(konsisten). Sedangkan suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan disebut penelitian (research). Usaha-usaha itu
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah
dapat dibedakan atas :
1.
Ilmu
Pengetahuan Fisis-Kuantitatif, sering disebut pengetahuan empiris. Pengetahuan
ini diperoleh melalui proses observasi serta analisis atas data dan fenomena
empiris. Termasuk dalam kelompok ilmu ini adalah geologi, biologi, antropologi,
sosiologi, dan lain-lain.
2.
Ilmu
Pengetahuan Formal-Kualitatif, sering disebut pengetahuan matematis. Ilmu ini
diperoleh dengan cara analisis refleksi dengan mencari hubungan antara
konsep-konsep. Termasuk dalam kelompok ilmu ini adalah logika formal,
matematika, fisika, kimia, dan lainlain.
3.
Ilmu
Pengetahuan Metafisis-Substansial, sering disebut pengetahuan filsafat.
Pengetahuan filsafat diperoleh dengan cara analisis refleksi (pemahaman,
penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, logis rasional) dengan mencari hakikat
prinsip yang melandasi keberadaan seluruh kenyataan.
CIRI
ILMU PENGETAHUAN
Ilmu perlu dasar empiris, apabila seseorang memberikan keterangan
ilmiah maka keterangan itu harus memmungkintan untuk dikaji dan diamati, jika
tidak maka hal itu bukanlah suatu ilmu atau pengetahuan ilmiah, melainkan suatu
perkiraan atau pengetahuan biasa yang lebih didasarkan pada keyakinan tanpa
peduli apakah faktanya demikian atau tidak. Upaya-upaya untuk melihat
fakta-fakta memang merupakan ciri empiris dari ilmu, namun demikian bagaimana
fakta-fakta itu dibaca atau dipelajari jelas memerlukan cara yang logis dan
sistematis, dalam arti urutan cara berfikir dan mengkajinya tertata dengan
logis sehingga setiap orang dapat menggunakannya dalam melihat realitas faktual
yang ada.
Disamping itu ilmu juga harus objektif dalam arti perasaan suka-tidak
suka, senang-tidak senang harus dihindari, kesimpulan atau penjelasan ilmiah
harus mengacu hanya pada fakta yang ada, sehingga setiap orang dapat melihatnya
secara sama pula tanpa melibatkan perasaan pribadi yang ada pada saat itu.
Analitis merupakan ciri ilmu lainnya, artinya bahwa penjelasan ilmiah perlu
terus mengurai masalah secara rinci sepanjang hal itu masih berkaitan dengan
dunia empiris, sedangkan verifikatif berarti bahwa ilmu atau penjelasan ilmiah
harus memberi kemungkinan untuk dilakukan pengujian di lapangan sehingga
kebenarannya bisa benar-benar memberi keyakinan.
Dari uraian di atas, nampak bahwa ilmu bisa
dilihat dari dua sudut peninjauan, yaitu ilmu sebagai produk/hasil, dan ilmu
sebagai suatu proses. Sebagai produk ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
tersistematisir dan terorganisasikan secara logis, seperti jika kita
mempelajari ilmu ekonomi, sosiologi, biologi. Sedangkan ilmu sebagai proses
adalah ilmu dilihat dari upaya perolehannya melalui cara-cara tertentu, dalam
hubungan ini ilmu sebagai proses sering disebut metodologi dalam arti bagaimana
cara-cara yang mesti dilakukan untuk memperoleh suatu kesimpulan atau teori
tertentu untuk mendapatkan, memperkuat/menolak suatu teori dalam ilmu tertentu,
dengan demikian jika melihat ilmu sebagai proses, maka diperlukan upaya
penelitian untuk melihat fakta-fakta, konsep yang dapat membentuk suatu teori
tertentu.
Sumber Pengetahuan:
a.
Pengalaman
indera (sense experience) Pengetahuan
dapat diperoleh melalui penangkapan panca indera di mana kemudian menjadi dasar
perkembangan “empirisme”
b.
Penalaran
(reason) Pengetahuan diperoleh dengan
cara menggabungkan atau mengabstraksikan dua pengertian atau lebih berdasarkan
akal sehat manusia.
c.
Otoritas
(authority) Pengetahuan diperoleh
berdasarkan otoritas sebagai kekuatan sah yang dimiliki seseorang atau
kelompok.
d.
Intuisi
(intuition) Pengetahuan diperoleh
dari proses kejiwaan tanpa stimulus atau rangsangan dari luar.
e.
Wahyu
(revelation) Pengetahuan berdasarkan
pada wahyu Tuhan melalui perantara utusan-utusan-Nya.
f.
Keyakinan
(Faith) Jenis pengetahuan ini sulit
dibedakan dengan pengetahuan yang bersumber pada wahyu. Jika wahyu berdasar
dogmatisme agama, sementara keyakinan lebih mengacu pada kematangan (maturation) sehingga sifatnya lebih
dinamis.
II. METODE
MENCARI KEBENARAN
Dari jenis katanya, “kebenaran” merupakan kata benda.
Namun janganlah terlalu cepat langsung menanyakan dan mencari benda yang
namanya “kebenaran”, jelas itu tidak akan ada hasilnya; itu merupakan usaha
yang sesat. Meskipun ada kata benda “kebenaran”, namun dalam realitanya tidak
ada benda “kebenaran”, yang ada dalam kenyataan secara ontologis adalah sifat
“benar”. Kata benda “kebenaran” merupakan kata jadian dari kata sifat “benar” (sebagai kata dasarnya); ini
merupakan rekayasa morfologis, agar hal yang merupakan sifat itu dapat
dijadikan subyek atau obyek dalam suatu struktur kalimat perlu dijadikan kata
benda terlebih dahulu, meskipun kenyataannya adalah tetap sebagai sifat.
Sebagaimana sifat-sifat lain pada umumnya, kita dapat
menemukan serta mengenalnya pada hal yang memiliki sifat bersangkutan, demikian
pula sifat “benar” tentu saja juga dapat kita cari dan dapat kita temukan dalam
hal-hal yang memiliki sifat “benar” tersebut. Misalnya sifat “bersih” dapat
kita temukan pada udara yang bersih, lantai yang bersih; sifat “tenang” dapat
kita temukan dalam suasana kelas yang tenang, suasana hati yang tenang.
Demikian pula sifat “benar” pada umumnya dapat kita temukan pada hal-hal
berikut: pemikiran yang benar, jawaban
yang benar, pengetahuan yang benar, penyataan yang benar, penjelasan yang
benar, pendapat yang benar, pandangan yang benar, informasi yang benar, berita
yang benar, tindakan yang benar, kebijaksanaan yang benar. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa sifat “benar” dapat berada pada kegiatan berpikir maupun
hasil pemikiran yang dapat diungkapkan dalam bahasa lisan maupun tertulis,
sebagai: jawaban, penyataan, penjelasan, pendapat, informasi, berita, tindakan,
peraturan. Hasil pemikiran pada pokoknya menunjukkan ada atau tidak-adanya
hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, misalnya yang
menunjukkan adanya hubungan: udara bersih, lampu menyala, rumah terbakar api,
binatang menggigit orang, orang makan mangga; sedang pernyataan yang
menunjukkan tidak-adanya hubungan antara yang diterangkan dan yang menerangkan
dinyatakan dengan menggunakan kata tidak, dengan contoh sebagai berikut: pasar
sayur ini tidak bersih, tanaman padi tidak subur, kambing tidak hidup di air,
manusia tidak bersayap.
Seluruh langkah dalam proses kegiatan berpikir hingga
menghasilkan pemikiran yang dapat diwujudkan dalam berbagai pernyataan tersebut
ternyata memiliki peluang menghasilkan kebenaran atau sebaliknya kekeliruan /
kesalahan, misalnya: pertama, ketepatan atau kecocokan penentuan obyek atau
sumber asal / awal orang mulai melakukan kegiatan berpikir; kedua, ketepatan
atau kecocokan cara serta sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahan dalam
melakukan kegiatan berpikir; ketiga, ketepatan atau kecocokan proses penalaran
dalam kegiatan berpikir dalam menghasilkan proposisi; keempat, ketepatan atau kecocokan menyatakan
proposisi dalam berbagai perwujudannya termasuk dalam tindakan. Sehingga sifat
benar terkait dengan kualitas pengetahuan yang diharapkan dapat terwujud dalam
seluruh langkah kegiatan berpikir dalam rangka memperoleh pengetahuan tersebut.
TEORI KEBENARAN
Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan
yang dibangunnya. Sebagaimana
pengetahuan dilihat tidak secara menyeluruh, melainkan dari aspek atau
bagian tertentu saja, demikian pula kebenaran juga hanya diperoleh dari
pemahaman terhadap pengetahuan yang tidak menyeluruh tersebut, sehingga setiap
teori kebenaran yang akan dibahas, ternyata lebih menekankan pada salah satu
bagian atau aspek dari proses orang mengusahakan kebenaran pengetahuan. Berikut
ini beberapa contoh teori kebenaran, yang nampak sekali menekankan salah satu
langkah proses manusia mengusahakan pengetahuan.
1. Teori
Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran
tradisional, atau teori yang paling tua. Teori ini sampai tingkat tertentu
telah dimunculkan Aristoteles. Menurut Aristoteles, mengatakan hal yang ada
sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada, adalah salah. Sedangkan
mengatakan hal yang ada sebagai ada, atau yang tidak ada sebagai tidak ada,
adalah benar. Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori
kebenaran korespondensi, yaitu bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa
yang dikatakan dengan kenyataan. Pernyataan dianggap benar kalau apa yang
dinyatakan di dalamnya berhubungan atau punya keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan
itu.
Kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai yang diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah
soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya.
Menurut teori ini, kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek,
yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas obyektif sebagaimana adanya.
Contoh: “Bumi adalah bulat” merupakan suatu pernyataan
yang benar, karena dalam kenyataannya pernyataan itu didukung atau sesuai
dengan kenyataan. Sedangkan pernyataan “Kerusuhan-kerusuhan akhir-akhir ini
didalangi oleh pihak ketiga.” adalah
benar, bila dalam kenyataannya memang ada pihak ketiga yang mendalangi
kerusuhan-kerusuhan tersebut. Namun bila pernyataanpernyataan tersebut tidak
didukung oleh kenyataan atau fakta yang terjadi, maka pernyataan tersebut
salah.
Apa yang diketahui oleh subyek sebagai benar harus sesuai
atau harus cocok dengan obyek, dengan kenyataan yang diklaim oleh subyek
bersangkutan, harus ada kesesuaian dengan realitas. Apa yang diketahui oleh subyek memang
berkaitan dan berhubungan dengan realitas. Materi pengetahuan yang dikandung
dan diungkapkan dalam proposisi atau pernyataan memang sesuai dengan obyek atau
fakta.
Dengan demikian suatu ide, konsep, atau teori dikatakan
benar bila mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Pengetahuan terbukti benar
dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan
pengetahuan tersebut. Dalam kegiatan ilmiah, mengungkapkan realitas adalah hal
yang pokok Dalam usaha mengungkapkan
realitas itu, kebenaran akan muncul dan terbukti dengan sendirinya, apabila apa
yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataannya.
Teori korespondensi ini sangat ditekankan oleh aliran
empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber
utama pengetahuan manusia. Teori ini sangat menghargai pengamatan, percobaan
atau pengujian empiris untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Teori ini
lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan
yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris.
Teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara
subyek dan obyek, antara si pengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak
dualitas ini, teori ini lalu menekankan pentingnya obyek bagi kebenaran
pengetahuan manusia. Yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia
adalah obyek, sedangkan subyek atau akal budi hanya mengolah lebih jauh apa
yang diberikan oleh obyek.
Teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Yang dimaksud bukti
bukanlah diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan konstruksi akal budi,
dan bukan pula hasil limajinasi akal budi.
Bukti adalah apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat
ditangkap oleh pancaindra manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya,
kalau apa yang dinyatakan dalam proposisi sesuai atau ditunjang oleh kenyataan
sebagaimana diungkapkan. Yang dimaksud sebagai pembuktian atau justifikasi
adalah proses menyodorkan fakta yang mendukung suatu proposisi atau hipotesis.
Pembuktian atau justifikasi bukan proses validasiyang mau memperlihatkan apakah
proposisi yang menjadi kesimpulan telah ditarik secara sahih (valid) dari
proposisi tertentu yang telah diterima sebagai benar.
Persoalan yang muncul sehubungan dengan teori ini adalah
bahwa semua pernyataan, proposisi, atau hipotesis yang tidak didukung oleh
bukti empiris, oleh kenyataan faktual apa pun, tidak akan dianggap benar.
Misalnya, pernyataan “Ada Tuhan yang Mahakuasa” tidak akan dianggap sebagai
suatu kebenaran kalau tidak didukung oleh bukti empiris tertentu. Karena itu,
hal ini tidak akan dianggap ;sebagai pengetahuan, dan pernyataan ini hanya akan
dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut keyakinan.
2. Teori
Kebenaran Koherensi
Kalau teori kebenaran korespondensi dianut oleh kaum
empirisis, maka teori kebenaran
koherensi dianut oleh kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza,
Descartes, Hegel, dan yang lainnya. Menurut teori ini, kebenaran tidak
ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam
relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada sebelumnya dan
telah diakui kebenarannya. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan proposisi, atau
hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi,
atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi
sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat
menekankan teori kebenaran koherensi.
Menurut para penganut teori ini, suatu pernyataan atau
proposisi dinyatakan benar atau salah dapat dilihat apakah proposisi itu
berkaitan dan meneguhkan proposisi atau pernyataan yang lain atau tidak. Suatu
pernyataan benar kalau pernyataan itu cocok dengan sistem pemikiran yang ada.
Dengan demikian, kebenaran sesungguhnya berkaitan dengan implikasi logis dari
sistem pemikiran yang ada. Mari kita bahas contoh ini: “Lilin akan mencair
kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” Bagi kaum empirisis yang menganut kebenaran
korespondensi, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini, perlu diadakan
percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk
mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Sedangkan bagi kaum rasionalis yang menganut
kebenaran koherensi, untuk mengetahui kebenaran pernyataan itu kita cukup
mencek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan-pernyataan lainnya.
Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan-pernyataan lainnya. Ternyata
pernyataan ini benar, karena sesuai dengan pernyataan bahwa lilin termasuk
bahan parafin, dan parafin selalu mencair pada suhu minimal 60 derajat Celcius.
Dan dengan demikian lilin tentu saja akan mencair bila dimasukkan ke dalam air
yang sedang mendidih (suhunya 100 derajat Celcius, lebih tinggi daripada
kemungkinan mencairnya lilin yang berasal dari bahan parafin). Ini berarti
bahwa pernyataan “Lilin mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang
sedang mendidih.” adalah pernyataan yang benar tanpa perlu dirujuk pada
realitas. Pernyataan itu benar karena meneguhkan pernyataan-pernyataan lainnya,
yaitu: bahwa lilin adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu minimal
60 derajat Celcius; dan bahwa air mendidih pada suhu yang lebih tinggi daripada
60 derajat Celcius, yaitu 100 derajat Celcius.
Dengan kata lain, pernyataan “Lilin akan mencair kalau dimasukkan ke
dalam air yang mendidih” hanya merupakan konsekuensi logis dari
pernyataan-pernyataan lainnya tadi.
Bila kaum empirisis akan membuktikan kebenaran pernyataan
di atas dengan mengatakan: “Coba saja, dan lihat apakah terbukti dalam
kenyataan demikian atau tidak.” Sedang
kaum rasionalis akan membuktikan dengan mengatakan demikian: “Mudah saja. Lilin
termasuk bahan parafin, dan parafin selalu mendidih pada suhu enam puluh
derajat Celcius. Sementara air selalu baru mendidih kalau sudah mencapai suhu
seratus derajat Celcius. Maka, kesimpulan logisnya: Lilin pasti dengan
sendirinya akan mencair kalu dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.
Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran
rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Pengetahuan yang benar hanya
dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekuensi logis dari
pernyataanpernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar.
Konsekuensinya, kebenaran suatu pernyataan atau pengetahuan sudah diandaikan
secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada. Bagi kaum
rasionalis yang menganut teori kebenaran koherensi, lilin akan mencair kalau
dimasukkan ke dalam air yang mendidih sudah merupakan suatu pengetahuan yang
kebenarannya sudah diandaikan dan diketahui secara apriori. Sama halnya juga
dengan kebenaran teori inflasi, hukum penawaran dan permintaan, teori hubungan
timbal balik antara kinerja dengan imbalan (gaji, tunjangan, dana pensiun,
dsb.).
Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran dan
pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian atau justifikasi sama artinya
dengan validasi, yaitu memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung
kebenaran tadi memang diperoleh secara sahih (valid) dari proposisi-proposisi
lain yang telah diterima sebagai benar.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori
ini adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau
kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan
kebenaran pernyataan lain tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan
fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan lain
lagi. Hal ini berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa ada
hentinya (infinite regress atau regressus
in infinitum) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti. Karena itu,
kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran koherensi ini penting, namun
dalam kenyataannya perlu digabungkan dengan teori kebenaran korespondensi, yang
menuntut adanya kesesuaian dengan realitas.
3. Teori
Kebenaran Pragmatis
Teori ini dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf
pragmatis dari Amerika, seperti Charles S. Pierce, William James, dan John
Dewey. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide,
konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang
benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang – berdasarkan ide itu
– melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Dengan kata lain,
berhasil ;dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide
benar atau tidak. Contohnya, ide bahwa kemacetan di jalan-jalan besar di
Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi satu orang.
Maka, konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi minimum 3
penumpang”. Ide tadi benar kalau ide
tadi berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
Pierce mengatakan bahwa ide yang jelas dan benar mau
tidak mau mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Kalau ide itu
benar, maka ketika diterapkan akan berguna dan berhasil untuk memecahkan suatu
persoalan dan menentukan perilaku manusia.
William James mengembangkan teori pragmatisnya tentang
kebenaran dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk
menangkap; kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi
memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Ide atau teori yang benar adalah
ide atau teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita.
Sebaliknya, ide yang salah adalah ide yang tidak berguna atau tidak bisa
berfungsi membantu kita memenuhi kebutuhan kita. Ide yang benar adalah ide yang
berfungsi dan berlaku membantu manusia bertindak secara tertentu dan secara
berhasil. Ide yang benar sesungguhnya adalah instrumen untuk bertindak secara
berhasil.
Bagi John Dewey, kalau kita mau memahami apa pengaruh
suatu ede atas pengalaman dan kehidupan kita, kita harus melihat bagaimana ide
tersebut berlaku dan berfungsi dalam penggunaannya, yaitu bagaimana ide tersebut
membantu kita memecahkan berbagai persoalan hidup kita. Bagi kaum pragmatis,
yang penting bukanlah benar tidaknya suatu ide secara abstrak. Melainkan,
sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis yang muncul dalam
kehidupan kita dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sejauh mana kita dapat
memecahkan persoalan dalam realitas kehidupan kita dengan menggunakan ide-ide
itu. Semakin berguna sebuah ide untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis,
maka ide itu akan dianggap paling benar.
Kebenaran pragmatis sebenarnya juga mencakup kebenaran
empiris. Namun kebenaran pragmatis lebih bersifat radidkal, karena kebenaran
pragmatis tidak hanya sesuai dengan kenyataan, melainkan juga pernyataan yang
benar (sesuai dengan kenyataan) itu
memang dalam kenyataannya berguna bagi manusia.
Kebenaran bagi kaum pragmatis mengandung suatu sifat yang
baik. Suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu.
Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu secara berhasil. William
James menolak kebenaran rasionalistis yang hanya memberi definisi-definisi yang
abstrak tanpapunya relevansi bagi kehidupan praktis. Kebenaran rasional jangan
hanya berhenti di situ saja, melainkan
perlu diterapkan sehingga sungguh-sungguh berguna bagi manusia. Kita tidak
hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan “pengetahuan mengapa” tapi juga
membutuhkan “pengetahuan bagaimana”.
4. Teori
Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang di antara para filsuf analisa
bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramqatika seperti
Friederich Schleiermacher. Menurut Schleiermacher, pemahaman adalah suatu
rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan dan menjurus
kembali ke suasana kejiwaan di mana ekspresi tersebut diungkapkan. Di sini
terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata
bahasa dan momen kejiwaan.
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak
pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan
atau tata-bahasa yang melekatnya. Sehingga kebenaran ini terkait dengan
bagaimana suatu hasil pemikiran diungkapkan dalam suatu pernyataan bahasa
(lisan atau tertulis) yang perlu dirangkai dalam suatu keteraturan sintaksis
atau gramatika yang digunakannya.
Suatu pernyataan memiliki kebenaran, bila pernyataan itu
mengikuti aturan sintaksis yang baku. Sedangkan apabila proposisi atau
pernyataan itu tidak mengikuti syarat tersebut, maka proposisi atau pernyataan
itu tidak mempunyai arti, sehingga tidak mampu mengungkap makna dari hasil
pemikiran yang telah dilakukan.
Suatu ide, konsep, atau teori dinyatakan benar, bila
berhasil diungkapkan menurut aturan sintaksis yang baku. Kebenaran baru akan
nampak dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau tertulis). Sehingga benar atau
salahnya suatu pernyataan sangat dipengaruhi oleh keteraturan sintaksis serta
penataan bahasa yang digunakannya. Apabila mampu dinyatakan dalam wujud bahasa
dengan aturan sintaksis yang baku, maka pernyataan tersebut dapat dikatakan
benar, sedangkan apabila tidak mampu tentu saja itu salah. Bahasa berfungsi
untuk mengungkap ide, konsep, atau teori yang telah dihasilkan dari proses
pemikiran dalam komunikasi kita satu sama lain, sehingga bila pernyataan atau
ungkapan bahasa tersebut tidak didasarkan pada aturan bahawa yang ada tentu
dapat menghasilkan pernyataan yang tidak memiliki makna, atau pernyataan yang
memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan makna yang sudah ada dalam
pemikiran kita.
5. Teori
Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai
tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Teori kebenaran semantis,
sebenarnya berpangkal atau mengacu pada pendapat Aristoteles dengan ungkapan
sebagai berikut: “Mengatakan sesuatu yang ada sebagai yang ada dan sesuatu yang
tidak ada sebagai yang tidak ada, adalah benar”. Dan juga mengacu pada teori korespondensi,
yang menyatakan bahwa: “kebenaran terdiri dari hubungan kesesuaian antara apa
yang dikatakan dengan apa yang terjadi dalam realitas”.
Menurut teori ini, benar atau tidaknya suatu proposisi
didasarkan pada ada tidaknya arti atau makna dalam proposisi terkait. Apabila
proposisi tersebut memiliki arti atau makna, serta memiliki pengacu (referent) yang jelas, maka proposisi
dinyatakan benar, sedangkan apabila sebaliknya dapat dinyatakan salah. Setiap
pernyataan tentu memiliki arti atau makna yang menjadi acuannya. Proposisi itu
mempunyai nilai kebenaran, bila proposisi itu memiliki arti. Arti diperoleh
dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya, yaitu dengan menunjuk pada
referensi atau kenyataan. Arti yang dikemukakan itu memiliki sifat definitif,
yaitu secara jelas menunjuk ciri khas dari sesuatu yang ada. Arti yang termuat
dalam proposisi tersebut dapat bersifat esoterik, arbitrer, atau hanya
mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari subyek yang
menggunakannya.
6. Teori
Kebenaran Performatif
Teori ini terutama dianut oleh filsuf seperti Frank
Ramsey, Joh Austin, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori
klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu.
Menurut teori klasik, proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan
sesuatu yang memang dianggap benar, demikian pula sebaliknya untuk proposisi
yang salah.
Menurut teori performatif ini, suatu pernyataan dianggap
benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas. Jadi, pernyataan yang benar
bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi justru dengan pernyataan
itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Contohnya: “Dengan ini, saya mengangkat kamu menjadi bupati Bantul.” Dengan pernyataan itu, tercipta sebuah
realitas baru, yaitu realitas kamu sebagai bupati Bantul.
Di satu pihak, teori ini dapat dipakai secara positif
tetapi juga di pihak lain dapat pula dipakai secara negatif. Secara positif,
dengan pernyataan tertentu orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya.
“Saya bersumpah akan menjadi suami yang setia, atau istri yang setia dalam
untuk maupun malang.” Tetapi secara
negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau ungkapannya seakan
pernyataan atau ungkapan tersebut sama dengan realitas begitu saja. Misalnya,
“Saya berdoa agar kamu berhasil”,
Seolah-olah dengan pernyataan itu ia berdoa, padahal tidak. Atau, “Saya
bersumpah, saya berjanji akan setia.” Seakan-akan dengan janji itu ia setia dan
seakan-akan benar demikian, padahal tidak.
KEBENARAN ILMIAH
Kebenaran ilmiah terkait dan tidak bisa dilepaskan dari
proses kegiatan ilmiah sampai dengan menghasilkan karya ilmiah yang diungkapkan
atau diwujudkan. Suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur
baku yang harus dilaluinya. Prosedur baku baku yang harus dilalui mencakup
langkah-langkah, kegiatankegiatan pokok, serta cara-cara bertindak untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah, hingga hasil pengetahuan ilmiah itu diwujudkan
sebagai hasil karya ilmiah.
Pada awalnya setiap ilmu secara tegas perlu menetapkan
atau membuat batasan tentang obyek yang akan menjadi sasaran pokok persoalan
dalam kegiatan ilmiah; obyek tersebut dapat berupa hal konkret atau abstrak.
Bertumpu pada penetapan obyek tersebut, kegiatan ilmiah berusaha memperoleh
jawaban sebagai penjelasan terhadap persoalan yang telah dirumuskan. Jawaban
tersebut tentu saja relevan dengan obyek yang menjadi sasaran pokok persoalan
dalam kegiatan ilmiah. Sehingga kebenaran dari jawaban yang merupakan hasil
dari kegiatan ilmiah ini bersifat obyektif, didukung oleh fakta-fakta yang
berupa kenyataan yang berada dalam keadaan obyektivanya. Kenyataan yang
dimaksud di sini adalah kenyataan yang berupa suatu yang dipakai sebagai acuan,
atau sebenarnya merupakan kenyataan yang pada mulanya merupakan obyek dari
kegiatan ilmiah ini. Dengan demikian suatu konsep, suatu teori, suatu
pengetahuan memiliki kebenaran, bila memiliki sifat yang berhubungan
(korespondensi) dengan fakta-fakta yang merupakan obyek dari kegiatan ilmiah
yang dilakukan. Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya menuntut kebenaran
korespondensi, karena fakta-fakta obyektif amat dituntut dalam pembuktian
terhadap setiap proposisi atau pernyataan ilmiah tersebut.
Setelah menetapkan dan membuat batasan tentang obyek yang
diangkat sebagai pokok persoalan dalam kegiatan ilmiah, lebih lanjut perlu
dibuat kerangka sistematis untuk menentukan langkah dalam mengusahakan
jawabannya. Atas dasar teori-teori yang sudah ada serta telah memiliki
kebenaran yang diandalkan, kita dapat manjalankan penalaran untuk memperoleh
kemungkinan jawaban atas persoalan yang diajukan dalam kegiatan ilmiah
tersebut. Agar menghasilkan jawaban yang benar, perlu adanya konsistensi dengan
teori-teori yang telah diakui kebenarannya, sehingga jawaban tersebut koheren
dengan teori-teori bersangkutan. Kebenaran yang dituntut dalam proses penalaran
deduktif ini adalah kebenaran koherensi, yaitu adanya hubungan yang logis dan
konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang relevan. Misalnya, suatu jawaban
yang menyatakan bahwa jumlah besar dari ketiga sudut segitiga adalah 180
derajat didasarkan pada aksioma bahwa sudut lurus itu besarnya 180 derajat, dan
jumlah dari ketiga sudut segitiga tersebut ternyata membantuk sudut lurus.
Berhubung jawaban tersebut memiliki konsistensi dan hubungan logis dengan
pernyataan-pernyataan yang sudah ada dan memiliki kebenaran, maka jawaban
tersebut adalah benar. Atau jawaban mengenai penyebab turunnya harga gabah
adalah terjadinya musim panenan padi merupakan jawaban yang benar, karena
memiliki konsistensi dengan teori
ekonomi tentang persediaan, penawaran dan harga. Sehingga dalam penalaran
deduktif untuk menghasilkan hipotesis sebagai jawaban sementara, perlu adanya
kebenaran koherensi; hipotesis dituntut
memiliki hubungan logis atau konsistensi dengan teori-teori terkait yang telah
diakui kebenarannya.
Dan untuk mengetahui apakah hipotesis tersebut memiliki
kebenaran dalam realitasnya, maka perlulah diadakan uji hipotesis. Secara
induktif perlu mengusahakan fakta-fakta yang relevan yang mendukung hipotesis
tersebut. Bila ternyata hipotesis tersebut memiliki hubungan kesesuaian
(korespondensi) dengan fakta-fakta yang relevan dengan obyek kajian, maka
hipotesis tersebut benar, sedangkan bila sebaliknya tentu saja salah.
Setelah hipotesis diuji dan ternyata benar, maka
hipotesis tersebut tidak lagi merupakan jawaban sementara, melainkan sudah
merupakan jawaban yang memiliki kebenaran yang dapat diandalkan, dan tentu saja
jawaban sebagai hasil kegiatan ilmiah ini dapat semakin memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan. Manusia tidak hanya cukup berhenti berusaha dengan memperoleh
pengetahuan, melainkan ada dorongan kehendak untuk bertindak, melakukan
aktivitas dalam mengusahakan sarana bagi kebutuhan hidupnya. Maka pengetahuan
ilmiah yang telah diperoleh tersebut dapat menjadi kekayaan yang cukup berharga
sebagai sumber jawaban terhadap berbagai persoalan dan permasalah yang
dihadapinya. Bila pengetahuan yang dihasilkan tersebut ternyata memiliki
konsekuensi praktis, yaitu berguna dan berhasil dalam memecahkan berbagai
persoalan yang kita hadapi, maka pengetahuan tersebut memiliki kebenaran
pragmatis.
Pada tahap menyampaikan dan mempublikasikan hasil
pengetahuan ilmiah yang telah diusahakan, kita perlu menggunakan bahasa yang
sesuai dengan bidang ilmu terkait (khususnya berkenaan dengan istilah-istilah,
rumus-rumus maupun simbol-simbol yang biasa dipakai dalam bidang ilmu
bersangkutan). Kebenaran dalam ilmu pengetahuan harus selalu merupakan hasil
persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya. Kebenaran ilmu
pengetahuan memiliki sifat universal sejauh kebenaran tersebut dapat
dipertahankan; keuniversalan ilmu pengetahuan dibatasi oleh penemuan-penemuan
baru atau penemuan lain yang hasilnya menolak penemuan yang ada atau
bertentangan sama sekali. Jika terdapat hal semacam ini, maka diperlukan suatu
penelitian ulang yang mendalam. Dan, jika hasilnya memang berbeda maka
kebenaran yang lama harus diganti oleh penemuan baru, atau kedua-duanya
berjalan bersama dengan kekuatannya atau kebenarannya masing-masing.
III. KAIDAH-KAIDAH
ILMU
Menurut The Liang Gie secara lebih khusus menyebutkan ciri-ciri
ilmu sebagai berikut :
ü Empiris (berdasarkan
pengamatan dan percobaan)
ü Sistematis (tersusun secara
logis serta mempunyai hubungan saling bergantung dan teratur)
ü Objektif (terbebas dari
persangkaan dan kesukaan pribadi)
ü Analitis (menguraikan
persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci)
ü Verifikatif (dapat diperiksa
kebenarannya)
Sementara itu Beerling menyebutkan ciri ilmu (pengetahuan
ilmiah) adalah :
·
Mempunyai dasar pembenaran
·
Bersifat sistematik
·
Bersifat intersubjektif
Sembilan ciri utama science menurut Mondal (2018) adalah
sebagai berikut:
1.
Objektivitas
Pengetahuan
ilmiah bersifat objektif. Objektivitas berarti kemampuan untuk melihat dan
menerima fakta apa adanya. Untuk menjadi objektif, seseorang harus waspada terhadap
bias, keyakinan, harapan, nilai, dan preferensi sendiri. Objektivitas menuntut
bahwa seseorang harus menyisihkan segala macam pertimbangan subyektif dan
prasangka.
2.
Verifiability
Sains
bersandar pada data indra, yaitu data yang dikumpulkan melalui indera kita,
yaitu mata, telinga, hidung, lidah, dan sentuhan. Pengetahuan ilmiah didasarkan
pada bukti yang dapat diverifikasi, melalui pengamatan faktual konkret sehingga
pengamat lain dapat mengamati, menimbang atau mengukur fenomena yang sama dan
memeriksa observasi untuk akurasi.
3.
Netralitas
Etis
Sains
bersifat etis netral. Ilmu hanya mencari pengetahuan. Bagaimana pengetahuan ini
akan digunakan akan ditentukan oleh
nilai-nilai kemasyarakatan. Pengetahuan dapat digunakan berbeda. Etika
netralitas tidak berarti bahwa ilmuwan tidak memiliki nilai. Di sini hanya
berarti bahwa ia tidak boleh membiarkan nilai-nilainya mengubah desain dan
perilaku penelitiannya. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah adalah netral
terhadap nilai-nilai atau bebas-nilai.
4.
Eksplorasi
sistematis
Sebuah
penelitian ilmiah mengadopsi prosedur sekuensial tertentu, rencana yang
terorganisir atau desain penelitian untuk mengumpulkan dan menganalisis fakta
tentang masalah yang diteliti. Umumnya, rencana ini mencakup beberapa langkah
ilmiah, seperti perumusan hipotesis, pengumpulan fakta, analisis fakta, dan
interpretasi hasil.
5.
Keandalan
atau Reliabilitas
Pengetahuan
ilmiah harus terjadi di bawah keadaan yang ditentukan tidak sekali tetapi
berulang kali dan dapat direproduksi dalam keadaan yang dinyatakan di mana saja
dan kapan saja. Kesimpulan berdasarkan hanya ingatan tanpa bukti ilmiah sangat
tidak dapat diandalkan.
6.
Presisi
Pengetahuan
ilmiah harus tepat, tidak samar-samar seperti beberapa tulisan sastra. Presisi
membutuhkan pemberian angka, data atau ukuran yang tepat.
7.
Akurasi
Pengetahuan
ilmiah itu akurat. Akurasi secara sederhana berarti kebenaran atau kebenaran
suatu pernyataan, menggambarkan hal-hal dengan kata-kata yang tepat sebagaimana
adanya tanpa melompat ke kesimpulan yang tidak beralasan, harus ada data dan
bukti yang jelas.
8.
Abstrak
Sains
berlanjut pada bidang abstraksi. Prinsip ilmiah umum sangat abstrak. Tidak
tertarik untuk memberikan gambaran yang realistis.
9.
Prediktabilitas
Para
ilmuwan tidak hanya menggambarkan fenomena yang sedang dipelajari, tetapi juga
berusaha untuk menjelaskan dan memprediksi juga.
Post a Comment for "Tugas Metode Penelitian (Resume Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran)"